![]() |
Ikuti kami di Saluran WhatsApp |
INET99.id — Kamboja, negara yang kini dikenal dengan keindahan Angkor Wat dan budaya yang kaya, menyimpan sejarah kelam yang membuat dunia terhenyak. Pada periode 1975–1979, di bawah kekuasaan rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot, Kamboja berubah menjadi "neraka dunia". Kekejaman, pembantaian massal, dan penderitaan yang tak terbayangkan menjadi kenyataan yang dihadapi rakyatnya.
Khmer Merah berambisi menciptakan masyarakat agraris komunis yang ekstrem. Dalam upaya tersebut, mereka menerapkan kebijakan brutal yang mengorbankan sekitar 1,5 hingga 2 juta nyawa, atau sekitar seperempat populasi Kamboja saat itu. Orang-orang yang dianggap berseberangan dengan ideologi mereka menjadi sasaran eksekusi massal.
Korban tak hanya berasal dari kalangan politik, tetapi juga warga sipil biasa. Mereka yang berpendidikan, pejabat pemerintahan sebelumnya, bahkan orang yang hanya mengenakan kacamata dianggap sebagai simbol intelektualitas dan langsung dicap sebagai musuh negara. Tanpa pengadilan, mereka dihabisi dengan kejam.
Penderitaan tak berhenti di situ. Jutaan orang dipindahkan ke pedesaan dan dipaksa bekerja di ladang dalam kondisi yang mengenaskan. Kelaparan, penyakit, dan penyiksaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kamp kerja paksa ini menjadi kuburan massal bagi mereka yang tak sanggup bertahan.
Salah satu bukti kekejaman rezim Khmer Merah adalah Penjara Tuol Sleng (S-21) di Phnom Penh. Penjara ini menjadi tempat penyiksaan dan pembunuhan ribuan orang yang dituduh sebagai musuh negara. Dari sana, banyak yang kemudian dibawa ke Killing Fields, lokasi pembantaian massal di mana korban dikubur dalam lubang-lubang besar tanpa identitas.
Tak hanya merenggut nyawa, Khmer Merah juga berusaha menghapus budaya dan tradisi Kamboja. Sekolah, kuil, dan bangunan bersejarah dihancurkan. Agama dilarang, dan segala bentuk pendidikan formal dihapuskan. Akibatnya, generasi muda kehilangan akses terhadap ilmu dan sejarah mereka sendiri.
Tragedi ini berakhir pada tahun 1979 ketika Khmer Merah berhasil digulingkan. Namun, dampak dari kekejaman tersebut masih terasa hingga kini. Banyak keluarga yang kehilangan anggota mereka, sementara trauma mendalam masih membekas di kalangan penyintas.
Meski begitu, Kamboja perlahan bangkit dari luka sejarahnya. Dengan berbagai upaya rekonstruksi dan rekonsiliasi, negara ini mulai membangun kembali identitas dan masa depannya. Situs-situs bersejarah seperti Killing Fields dan Museum Genosida Tuol Sleng kini menjadi pengingat akan kekejaman masa lalu, sekaligus pelajaran berharga bagi generasi mendatang.
Hari ini, Kamboja berusaha memulihkan citranya sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah. Namun, di balik keindahan Angkor Wat dan keramahan penduduknya, dunia tak boleh melupakan masa kelam yang pernah membuat negara ini disebut sebagai "neraka dunia". Sejarah ini menjadi pengingat tentang pentingnya menjaga kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian agar tragedi serupa tak pernah terulang.
Insiden Kekerasan Terhadap WNI di Kamboja
Kamboja, negara yang pernah dikenal dengan sejarah kelam di bawah rezim Khmer Merah, kini menghadapi tantangan baru terkait keselamatan pekerja migran, termasuk warga negara Indonesia (WNI). Insiden kekerasan yang melibatkan WNI di Kamboja menyoroti perlunya perhatian lebih terhadap perlindungan pekerja migran.
Pada 23 September 2024, seorang WNI bernama Rasdi Alfatin Harahap (30) ditemukan tewas di Poipet, Kamboja. Rasdi, yang bekerja di sebuah perusahaan judi online, diduga menjadi korban pengeroyokan oleh 22 rekan kerjanya sesama WNI. Insiden ini dipicu oleh tuduhan pencurian uang perusahaan sebesar 22 ribu baht. Para pelaku, terdiri dari 20 pria dan 2 wanita, telah ditahan oleh kepolisian Kamboja. Kementerian Luar Negeri RI melalui KBRI Phnom Penh memberikan pendampingan hukum untuk memastikan hak-hak para WNI tersebut terpenuhi dalam proses peradilan di Kamboja.
Kasus Pekerja Migran Ilegal Asal Sulawesi Utara
Selain itu, pada awal tahun 2025, seorang WNI asal Sulawesi Utara yang bekerja sebagai pekerja migran ilegal ditemukan meninggal dunia di Kamboja. Setelah bekerja selama satu tahun terakhir, jenazahnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Kasus ini menyoroti risiko yang dihadapi oleh pekerja migran ilegal yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran. Melalui Kementerian Luar Negeri dan perwakilan diplomatik di luar negeri, pemerintah memberikan pendampingan hukum dan memastikan hak-hak WNI terpenuhi. Selain itu, edukasi mengenai prosedur migrasi yang legal dan aman terus digalakkan untuk mencegah kasus serupa terulang.
Meskipun Kamboja pernah melalui masa kelam di bawah rezim Khmer Merah, negara ini kini berusaha bangkit dan membangun masa depan yang lebih cerah. Tantangan terkait keselamatan pekerja migran menjadi perhatian bersama antara pemerintah Indonesia dan Kamboja.
Diharapkan, melalui kerja sama bilateral dan peningkatan kesadaran masyarakat, perlindungan terhadap pekerja migran dapat ditingkatkan, sehingga tragedi seperti yang dialami oleh Rasdi Alfatin Harahap dan pekerja migran lainnya tidak terulang di masa mendatang.
(Red)