-->
  • Jelajahi

    Copyright © inet99.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Adsense

    Efisiensi anggaran yang sebagian dialihkan ke program makan bergizi gratis menuai ekses

    Jhon
    Tuesday, February 18, 2025, Tuesday, February 18, 2025 WIB
    Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan

    INET99.ID - Joko syok memandang surat yang ia terima pada Selasa, 28 Januari 2025. Surat dari Balai Besar Wilayah Sungai Brantas yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum itu menghentikan 22 tahun pengabdiannya sebagai petugas pintu air (PPA) di wilayah Gumukmas, Jember, Jawa Timur.

    Bersama 30-an rekannya, Joko tiba-tiba dirumahkan tanpa mendapat penjelasan soal apakah—dan kapan—ia dapat kembali bekerja. Ini mengagetkan karena ia dan rekan-rekannya sudah bertahun-tahun mengatur aliran irigasi untuk ribuan hektare sawah di Gumukmas.

    Sejak 2003, Joko dibayar Rp 85.000 per hari tanpa hari libur. Saat hujan deras turun malam hari, ia bahkan begadang untuk mengatur pintu air agar tak terjadi banjir. Kini, setelah semua pengorbanan itu, Joko diberhentikan.

    Joko pun bingung. Usianya kini tak muda lagi, sudah 50 tahun, sehingga tak mudah baginya mencari pekerjaan lain. Apalagi selama dua dekade ini, ia hanya melakoni pekerjaan di bidang pengairan.

    “Untuk [melamar jadi] buruh, saya enggak pernah [punya pengalaman] kayak gitu. Saya kesulitan. Hubungan saya dengan dunia [kerja] selain ini (pengairan) agak sulit,” ujar Joko kepada kumparan, Kamis (13/2).

    Untungnya, belakangan sebelum dirumahkan, ia menyambi bertani dan beternak. Kini, usaha sampingannya itu—yang dulu ia lakukan guna mendapatkan penghasilan tambahan lantaran upahnya sebagai PPA tak cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari—justru menjadi penghasilan utamanya.

    Itu sebabnya Joko bersyukur. Ia merasa masih lebih beruntung ketimbang rekan-rekannya, sesama petugas pintu air, yang selama ini hanya mengandalkan pemasukan dari pekerjaan sebagai PPA.
    Petani sedang mengatur pintu air yang mengatur arus air dari saluran sekunder ke saluran konektor. Foto: Deshana Ryan Prasastya/kumparan

    Lebih lanjut, dari informasi di media sosial, Joko mendapat kabar bahwa petugas pintu air di provinsi-provinsi lain rupanya bernasib serupa dengannya.

    Nasib “dirumahkan” kini memang makin jamak dijumpai. Bukan hanya Joko dan kawan-kawan PPA-nya, tapi juga Arief Budiman yang bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI).

    Sebagai penyiar di lembaga penyiaran publik milik pemerintah, ia dikejutkan oleh kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) di lembaganya yang menyasar pegawai kontrak sepertinya pada awal Februari 2025.

    Desas-desus mengenai pengurangan pekerja di RII sebenarnya sudah terdengar sejak Desember 2024. Namun, kala itu, alih-alih melakukan PHK, RRI memilih mengurangi honor pekerja honorer sebesar 20%. Keputusan itu tak disoal Arief karena ia masih dipekerjakan dan mendapat upah.

    Seorang pekerja honorer di RRI bercerita, kontrak perpanjangan kerja untuk pegawai honorer sempat diteken pada pekan pertama Februari. Namun, tak sampai sehari, ada pengumuman kontrak itu dibatalkan. Dan pekan berikutnya, pekerja honorer dipanggil untuk menandatangani pembatalan kontrak.

    Menurut Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar, masalah efisiensi anggaran menjadi polemik lantaran narasi pemerintah untuk mengurangi belanja alat tulis kantor hingga perjadin justru dibarengi oleh diskursus pengurangan layanan publik.

    “Pada saat bersamaan kabinet kita gemuk, ada stafsus (influencer) yang dilantik saat kehebohan ini terjadi. Dan ini pemborosan anggaran yang sangat besar sekali,” ujar Askar.

    Karena itulah publik menurut Askar jadi mempertanyakan uang pajak hasil efisiensi itu akan dialihkan ke mana. Menurutnya, belum semua lapisan masyarakat menerima jika anggaran untuk subsidi pendidikan, jalan, kesehatan kemudian digeser semua ke MBG.

    Celios juga mengusulkan agar program MBG diarahkan untuk mereka yang membutuhkan, tidak untuk seluruh anak-anak di Indonesia. Jika hal itu dilakukan, kebutuhan anggarannya menurut estimasi Askar hanya Rp 117 triliun per tahun.

    “Sekarang Rp 71 triliun sudah dianggarkan, jadi hanya butuh penambahan sekitar Rp 48 triliun. Dan enggak perlu memangkas dengan masif,” tambahnya.

    Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio berpendapat bahwa pemangkasan anggaran jangan hanya membuat pekerja kelas menengah ke bawah yang terimbas. Menurutnya, fasilitas pejabat kelas atas sekelas menteri seperti kendaraan mewah hingga pengawal juga mesti dikurangi demi penghematan.

    Menurut Agus, stafsus di pemerintahan jumlahnya sudah cukup banyak sehingga tidak perlu dilakukan banyak penambahan. Apalagi di lingkup internal K/L sudah ada pejabat eselon 1 dan 2 dan itu dibiayai APBN sehingga biarkanlah pejabat tersebut yang bekerja dan tidak mengandalkan stafsus.

    “Memangkasnya juga yang di atas, sehingga tidak bisa mengurangi tekanan di bawahnya. Kendaraan menteri enggak usah dua, satu aja Avanza. Pokoknya kan tidak kehujanan dan kepanasan. Supaya tidak melukai masyarakat,” tandas Agus.


    Baca lengkap Disini

    Sumber : Kumparan

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini