MK Hapus Pasal Tentang Berita Bohong Atau Hoax, Ini Alasannya

iNet99
By
0

Baca Juga



Jakarta, iNet99.id - Mahkamah Konstitusi (MK) hapus pasal tentang berita bohong atau Hoax. Putusan tersebut muncul setelah adanya permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah terkait dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang putusan tersebut dibacakan pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Aturan mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dikutip dari situs resmi MK, Kamis, 21 Maret 2024 pukul ko14:41 WIB

“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan Amar Putusan.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud "pasal karet" adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.

“Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,” ucap Arsul.

Menurut Mahkamah, lanjut Arsul, jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Oleh karena itu, dari telaahan makna kata “onar atau keonaran” dalam KBBI dimaksud, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal. Oleh karena itu, sambungnya, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
 
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” tambah Arsul.

Lebih lanjut dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas,” terang Enny.

Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo. Namun, oleh karena kesimpulan Mahkamah a quo bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, oleh karena itu dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayal (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sementara itu, permohonan para Pemohon terhadap pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 adalah kehilangan objek,” sebut Enny.



• Sumber : Situs resmi MK
• Editor : Andi


#mahkamahkonstitusi #MK #Hoax #Berita #Terbaru

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)